<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/9838259?origin\x3dhttps://cintaku-be.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Kuburan Massal itu bernama "BANDA ACEH" | Wednesday, December 29, 2004


Kuburan Massal itu bernama "BANDA ACEH"

DENGAN harap-harap cemas, Nyonya Asni (48) melangkah mantap menuruni tangga pesawat Garuda Indonesia yang membawanya dari Medan, Sumatera Utara, Senin (27/12) siang. Terik mentari di tengah hari di landasan Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Nanggroe Aceh Darussalam, tidak dihiraukan perempuan berkerudung tersebut.

SETELAH celingak-celinguk di pintu keluar ruang kedatangan penumpang bandar udara (bandara) di kawasan Blang Bintang tersebut, Asni melangkah ke tempat parkir depan. Baru tiga langkah, seorang adiknya langsung menghambur dan memeluk Asni. Isak tangis kedua kakak-beradik ini pun memecah kebisingan orang-orang yang ada di halaman parkir bandara.

"Maaf Kak, tak satu pun anak-anak yang selamat. Saya sudah cari ke mana-mana, mereka tidak ketemu. Rumah kakak tidak ada lagi, dan kini yang tersisa hanya lumpur hitam dan genangan air," kata sang adik sembari memeluk kakaknya, Asni.

Mendengar kabar itu, Asni seketika berteriak histeris. "Ya Allah, habis sudah keluargaku. Nak, ke mana kamu, kok secepat itu meninggalkan kami? Pak, tolong saya, tolong carikan anak saya," ratap Asni kepada Kompas yang kebetulan berdiri di dekatnya. Masih histeris, ibu lima anak ini pun akhirnya terkulai lemas dan duduk berselonjor begitu saja di lapangan rumput taman bandara.

Dengan kalimat terbata-bata disertai isak tangis, Asni bercerita bahwa pekan lalu ia bersama suaminya membawa orangtuanya yang sakit berobat ke Penang, Malaysia. Empat anaknya, masing-masing Siska dan Daifina, keduanya mahasiswa, serta Debi Istiqomah, dan Muhammad Sodiq (12), ditinggal di rumahnya yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari pantai di kota Banda Aceh. Anak tertuanya, Muhammad Ihsan, kuliah di Jakarta.

Semuanya berjalan biasa- biasa saja. Bahkan, hingga Minggu pagi lalu, sekitar pukul setengah delapan atau sekitar 30 menit sebelum gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter menghantam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut), Asni masih sempat bercakap-cakap melalui telepon dengan anak-anaknya

Namun, ternyata itulah percakapan terakhir Asni dengan keempat anaknya. Beberapa menit kemudian, gempa yang disertai gelombang tsunami menyapu rumahnya dan ribuan warga lain yang ada di sepanjang pantai kota Banda Aceh, Aceh Besar, Bireuen, Lhok Seumawe, hingga kawasan pantai Aceh Utara dan Timur.

Tragisnya lagi, kejadian memilukan ini baru diketahui Asni satu hari setelah kawasan pantai Banda Aceh dengan radius sekitar 1,5-2 kilometer dari pantai luluh lantak, rata dengan tanah, digilas gelombang tsunami. Itu pun setelah Asni berjuang berebut tiket penerbangan ke kampung halamannya di Banda Aceh.

Terlambatnya informasi tentang bencana tragis itu tidak lepas dari putus totalnya sarana komunikasi dari dan ke Banda Aceh sejak Minggu pagi itu. Dan, malapetaka pahit tersebut akhirnya terpaksa ditelan sendiri hampir dua hari oleh ribuan warga Banda Aceh dan sekitarnya.

NYONYA Asni memang tak sendirian. Di kota Banda Aceh itu setidaknya ada ribuan keluarga yang mengalami nasib serupa dengannya. Ada keluarga yang lenyap seketika, ada suami/istri kehilangan pasangannya dan anak-anak mereka, ada pula yang kehilangan keponakan, saudara, dan kerabat lainnya. Gelombang tsunami setinggi 10-an meter terlalu dahsyat untuk ribuan nyawa di bumi "Serambi Mekkah" itu.

Tengoklah Rusli Juneid (40), pedagang ikan di Kampung Jawa, kota Banda Aceh. Istrinya, Wardiani (36), bersama tiga anaknya, Nurdin Syahputera (12), Chairul Basyir (10), dan si bocah lincah Akbar Maulana (5), juga tidak diketahui keberadaannya sampai kemarin. Sembari pasrah dan berdoa kepada Allah, seperti orang terkena tekanan mental, Rusli sejak hari Minggu itu kerjanya cuma berkeliling dari satu tumpukan mayat ke tumpukan mayat lainnya yang ada hampir di setiap sudut Banda Aceh.

"Saya belum rela kalau empat orang yang saya cintai ini belum ditemukan jasadnya. Sampai kapan pun setiap mayat yang tergeletak akan saya telusuri dan intip wajahnya. Saya sangat menyesal, kok pada hari itu saya tidak bersama anak-anak di rumah," tutur Rusli yang berkeliling ke mana-mana mencari istri dan ketiga anaknya hanya menggunakan sarung tanpa alas kaki.

Lain lagi cerita Ipul dan Abu Bakar, warga Gampong Aje Cot, Kabupaten Aceh Besar. Ketika itu ia sedang berada di sekitar kawasan pasar Jalan Panglima Polim, Banda Aceh. Tiba-tiba bumi bergoyang disertai suara gemuruh.

"Gelombang dahsyat seperti dinding tegak lurus tiba-tiba menerobos dari arah pantai. Saya berlarian dan dalam sekejap berhasil naik ke pohon yang ada di trotoar jalan. Dengan bergelantungan dan penuh ketakutan, saya menyaksikan betapa gelombang tsunami menghanyutkan apa saja seketika. Mobil-mobil, rumah, dan orang-orang berteriak histeris tampak dihanyutkan dengan mudah, persis seperti sebuah busa di tengah kolam air deras," kata Ipul dan Abu Bakar, yang satu jam kemudian setelah air menyusut baru berani turun menginjak Bumi.

GELOMBANG tsunami yang meluluhlantakkan sekitar sepertiga kota Banda Aceh, Minggu lalu, itu memang menyisakan trauma psikis yang cukup kuat bagi sebagian besar warga setempat.

Selain trauma, tsunami kini menyisakan ribuan jasad tak berdaya, bergelimpangan di mana-mana hampir di semua kawasan pusat kota Banda Aceh.

Kalau berjalan sedikit saja ke ujung kawasan lain, misalnya dekat Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, di tengah- tengah bau busuk yang sangat menyengat hidung, dengan gampang kita akan menemukan tumpukan-tumpukan mayat di selokan yang sudah mulai kering.

"Saya pastikan, lebih dari 10.000 jiwa tewas mengenaskan karena gelombang tsunami di Banda Aceh. Ini bukan mengada-ada, tetapi sesuai dengan fakta yang bisa disaksikan dan dibuktikan di lapangan," ujar Rusli Muhammad, Penjabat Bupati Kabupaten Aceh Besar.

Memang menyedihkan dan memilukan. Petaka yang tidak lebih dari sekitar setengah jam itu telah menjadikan kota Banda Aceh sebagai sebuah "kuburan massal".

Semuanya tampak pasrah menerima nasib. Kini tidak ada terdengar lagi suara tawa dan canda para Cut dan Nyak, kecuali isak tangis dan kucuran air mata. Banda Aceh pun kini seperti sebuah "kuburan massal" dengan batu nisan puing-puing, reruntuhan, lumpur, dan bangkai mobil…. (ahmad zulkani)

*************************
Created at 4:19 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]