Pilih Ibu atau Adik | Thursday, December 30, 2004
Pilih Ibu atau Adik
MATA Nurtiasah (25) berkaca-kaca. Ia benar-benar kesulitan menceritakan kejadian yang menimpa keluarganya ketika gempa bumi dan gelombang pasang tsunami menerjang Kecamatan Bayou, Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Minggu (26/12) pagi.
Berkali-kali perempuan lajang itu sesenggukan, sambil membetulkan selang oksigen yang terpasang di lubang hidungnya. Gelombang pasang tsunami yang terjadi sekitar pukul 08.30 pagi di Aceh Utara itu sungguh meninggalkan kenangan pahit, mimpi buruk, yang tak akan mudah dilupakan seumur hidup.
Tak pernah terbayangkan oleh Nur, sepanjang perjalanan kehidupannya ia harus dihadapkan pada dua pilihan yang sangat berat: menyelamatkan ibunya, Syadidat (63), atau adik bungsunya, Mariani (22). Ibarat makan buah simalakama, ia harus memilih menyelamatkan di antara dua orang sangat ia sayangi ketika tsunami melanda.
"Sebelum badai melanda, saya berada di kamar karena sedang demam. Ibu asyik menonton televisi, sementara Mariani sedang mencuci kain di belakang rumah," kata gadis berkulit hitam manis itu, yang sedang tergolek di Rumah Sakit Cut Meutia, Lhokseumawe, Selasa (28/12) siang.
Ia menceritakan bencana alam yang meluluhlantakkan kawasan permukiman, tempat tinggalnya, yang berjarak lima kilometer dari bibir pantai Laut Lancoek, Aceh Utara. Sebelum terjadi gelombang pasang, pengakuannya, terjadi dua kali gempa yang mengakibatkan dinding-dinding rumahnya bergetar hebat.
Ketika getaran gempa pertama terasa pukul 08.05, adiknya memaksanya keluar dari rumah. Sementara, ibunya masih asyik menonton acara televisi, seperti tak menyadari bahaya yang akan menimpa.
"Aku tidak tahu ada gempa karena aku sendiri lagi pusing. Namun, ketika itu adikku, Mariani, berteriak-teriak tidak jelas, sambil mengajakku keluar dari kamar. Sebenarnya aku tidak kuat untuk keluar karena masih lemas. Tetapi akhirnya aku terpaksa berjalan dengan tertatih-tatih," ia mengenang, sambil menghapus air mata yang mengalir.
Beberapa menit keluar dari kamar, terasa getaran gempa kedua. Barang-barang yang tergantung di dinding rumah berjatuhan. Baru ia beranjak melihat situasi di luar rumah, tiba-tiba muncul begitu saja semburan air pasang, langsung mengurung.
Dipaksa Memutuskan
Seisi rumah panik. Ibunya dan Mariani spontan berlari menghampirinya, kemudian bersama-sama mereka lari ke arah belakang rumah, mencoba menyelamatkan diri ke jalan raya. "Air berhamburan dari segala arah, dan selang beberapa detik air sudah menenggelamkan kami. Mariani dan ibuku sudah putus asa. Mereka menarik-narik badanku di tengah kepungan air," ujarnya.
Entah, mendapat kekuatan dari mana, Nur masih kuat memegang erat tangan adiknya beberapa lama. Dengan tangan yang lain, ia memeluk ibunya yang bertubuh kecil, erat-erat.
Ia tak peduli, berapa banyak air bercampur lumpur yang tertelan. Ia hanya berusaha sekuat tenaga berenang dengan kepala tetap berada di atas permukaan air. Tetapi, kelebihan beban benar-benar membuatnya sulit bertahan di permukaan. Dan, di tengah perjuangan sebagai seorang kakak dan anak untuk menyelamatkan orang-orang yang dicintainya, sebuah benda keras yang terbawa air menghantam mereka. Meskipun
masih bisa bertahan, Nur dipaksa memutuskan untuk melepaskan salah satu bebannya.
"Aku tidak kuat lagi. Aku harus melepaskan satu beban agar bisa berusaha tetap di atas. Akhirnya pegangan tangan Mariani aku lepaskan, tetapi badannya kudorong ke atas, dengan keyakinan dia bisa menyelamatkan dirinya, dibandingkan ibuku yang sudah tua," katanya, terbata-bata.
Begitu salah satu beban terlepas, ia akhirnya berhasil berenang ke permukaan bersama ibunya, dengan bertumpu pada kayu reruntuhan rumah penduduk yang terbawa arus. Ia dan ibunya selamat, meski Nur sendiri beberapa kali muntah darah. Ia sempat dirawat di Unit Gawat Darurat RS Cut Meutia, Lhokseumawe. Begitu juga dengan Syadidat, ibunya, yang sempat dirawat secara intensif dan mengalami shock berat.
Tetapi, harapan bertemu Mariani tak kunjung terwujud. Ia dan Mariani memang bertemu di RS Cut Meutia, tetapi dalam kondisi berbeda. Mariani tewas. Mayatnya ditemukan tersangkut di sebuah pepohonan yang hanyut.
Satu-satunya Selamat
Kondisi yang dialami Nurtiasah, mungkin tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh banyak korban tsunami di Aceh Utara, bahkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gelombang pasang tsunami yang datang hingga setinggi pohon kelapa, membuat penduduk panik. Yang
mungkin ada di benak hanyalah bagaimana berusaha menyelamatkan diri.
Hal itu jugalah yang dialami Tengku Hasan Walud (76), warga Desa Bantaian, Kecamatan Seuneddon, Aceh Utara. Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu di antara mayat-mayat yang baru ditemukan, Selasa (28/12) pagi.
Ia satu-satunya yang selamat dari tujuh anggota keluarganya, yang seluruhnya tewas diterjang gelombang tsunami. Ketujuh orang itu adalah istrinya, anaknya, menantu, serta empat cucunya. Hasan selamat setelah berhasil mencapai kayu reruntuhan ketika tsunami melanda.
PEMBARUAN/HENRY SITINJAK
*************************
Created at 3:53 AM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]
|
|