<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/9838259?origin\x3dhttps://cintaku-be.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Balada Suami Istri yang Selamat, tapi Tiga Anaknya Hilang | Tuesday, January 11, 2005


Balada Suami Istri yang Selamat, tapi Tiga Anaknya Hilang

Air Mengejar 15 Meter di Belakang Mobilnya
Kini, banyak ruang kosong di hati Seriadi dan Nur Hayati. Tiga anaknya belum ditemukan. Bagaimana suami istri itu bisa lolos, meski harus berpisah dengan tiga buah hati mereka?

DJAKA SUSILA, Banda Aceh

MATA Nur Hayati sembab. Sepekan ini dia terus terisak-isak menangis meratapi nasibnya setelah badai tsunami membuyarkan semua impiannya. Sapu tangan terus digunakan untuk mengusap air matanya yang tak henti-hentinya menetes.

Sedangkan suaminya, Seriadi, tampak lebih tegar menghadapi cobaan itu. Mereka kehilangan ketiga anaknya saat badai tsunami menerjang Aceh. Seriadi sudah tampak pasrah. Dia merasa anaknya sudah meninggal.

Tak demikian yang dirasakan Nur Hayati. Dia masih terus berharap bisa menemukan anak-anaknya yang saat ini belum diketahui apakah masih hidup atau sudah menjadi mayat. Ke mana pun dia pergi, foto ketiga anaknya selalu dibawa. Dia meminta semua petugas untuk membantu mencari tahu di mana ketiga anaknya.

Ketiga anaknya -Muhammad Iqbal,14; Muhammad Riska, 10; dan Muhammad Ahda, 3- saat monster air itu datang memang tidak bersama ayah ibunya.

Si bungsu tengah berada di rumah neneknya di daerah Paserungan, yang berjarak 5 km dari rumah mereka di kawasan Lhoknga, Aceh Besar.

Iqbal dan Riska tinggal di rumah. Sedangkan Seriadi dan Nur Hayati tengah bekerja, meskipun saat itu Minggu. Seriadi bekerja di PT Semen Andalas, Lhoknga, yang tak jauh dari rumahnya. Begitu juga, Nur Hayati mengajar mengaji di perumahan Semen Andalas.

Sekitar pukul 08.00 WIB, gempa kuat mengagetkan Seriadi. Baru kali itu dia merasakan ada getaran yang kuat melanda Aceh. Pikirannya langsung tidak keruan. Seriadi langsung teringat anaknya yang berada di rumah.

Ketika gempa sudah reda, dia pun memacu mobilnya kembali ke rumah. Di sana dia menemukan anaknya yang sedang ketakutan. Dia berniat membawa anaknya itu ke rumah neneknya, berkumpul dengan si bungsu. "Mereka harus ada yang menjaga," kata Seriadi. Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah sang nenek. Seriadi lega melihat si bungsu juga dalam keadaan baik.

Merasa lega, dari Paserungan, Seriadi kembali berangkat kerja. Namun, baru berjalan beberapa ratus meter dari rumah, dia mendengar suara gemuruh dan beberapa orang berteriak bahwa air masuk kota.

Gulungan air berwarna cokelat pekat itu membuat Seriadi panik. Dia pun langsung memutar mobilnya menuju dataran tinggi di daerah bukit. Namun, dia terus dikejar air yang bergulung-gulung. Dia memperkirakan tinggi gelombang maut itu sekitar lima meter.

Seriadi terus melihat ke belakang untuk menjaga jarak bah dengan mobil. Pada saat itu, air yang mengejarnya diperkirakan berjarak 15 meter. Seriadi pun terus menancap gas mobilnya mencari tempat yang lebih tinggi.

Setelah merasa selamat hingga sampai di sebuah kedai, Seriadi beristirahat. Namun baru dua menit istirahat, air kembali datang. Dia pun kembali memacu mobilnya. Kali ini, jarak air hanya dua meter dan terus mengejar dirinya.

Seriadi nekat melewati jembatan-jembatan kecil yang air sungainya sudah meluap. Seriadi mujur. Begitu mobilnya lewat jembatan, jembatan itu tiba-tiba ambrol. "Saya lihat ke belakang, ada orang menggunakan sepeda motor yang juga selamat, mobil di belakang saya jatuh bersama jembatan itu," katanya kepada koran ini di pengungsian di Banda Aceh.

Perjuangan Seriadi terus berlanjut. Sebab, air terus mengejar mobilnya. Dia memacu memacu mobilnya ke atas bukit hingga air tidak lagi mengejarnya. Di atas bukit, dia selamat bersama 50 orang. Bahkan, Seriadi terpaksa tinggal selama dua malam di atas bukit tersebut. Dia makan seadanya.

Yang membuatnya terpukul, dari atas bukit dirinya bisa menyaksikan kompleks perumahannya digenangi air laut. Seriadi tidak berani melewati air yang menggenang sebagian besar wilayah Lhoknga, meski sangat cemas dengan nasib istri dan ketiga anaknya.

Setelah air tenang, dia nekat berenang. Hingga akhirnya, dia mencapai daratan setelah berenang beberapa menit. Dia lalu mencari ketiga anak dan istrinya. Namun, hasilnya nihil. Seriadi memilih bermalam di rumahnya yang saat itu hanya rusak pada bagian belakang.

Setelah satu hari bermalam di rumahnya, dia mendapatkan informasi bahwa istrinya berada di kamp pengungsian Nusa, Banda Aceh. Kegembiraannya bisa menjumpai istrinya di sana, namun masih sangat cemas dengan nasib ketiga anaknya serta ibunya.

Nur Hayati pun terus menangis saat mengingat anaknya. Dia masih terus mencari keberadaan ketiga anaknya. "Tolong ya, kalau ketemu anak saya ini, kami diberi tahu," katanya kepada koran ini sambil menunjukkan ketiga foto anaknya.

Bagaimana Nur Hayati bisa lolos dari gelombang tsunami? Dia belum bisa bercerita banyak mengenai bagaimana dia lolos dari terjangan tsunami. Pada saat itu, dia akan kembali mengajar mengaji ke Perumahan Semen Andalas. Dia juga kembali ke rumah ketika ada gempa dan menengok kedua anaknya.

Setelah Seriadi pergi, Nur Hayati juga bersiap-siap pergi. Ketika akan menyalakan sepeda motornya, banyak orang yang berhamburan lari karena melihat badai tsunami yang mengejar semua orang. Dia pun memacu sepeda motornya mencari tempat yang aman.

Namun tak lama, dia menyelamatkan diri menggunakan sepeda motornya. Karena meliht rumahnya juga tergenang air, dia tetap memilih ke pngungsian di Desa Nusa, Banda Aceh. Selama dua hari, dirinya meratapi nasib dan memikirkan suami serta ketiga anaknya.

Hingga kemarin, dia tampaknya belum percaya bahwa kecil kemungkinan ketiga anaknya selamat. Sebab, Kampong Paserungan tempat tinggal neneknya sangat dekat dengan pantai. Sekitar 300 meter dari pantai. Padahal, air saat itu menerjang hingga lima kilometer.

Meski sudah pasrah, Seriadi pun berusaha menyatukan hati dengan istrinya. Hari-harinya sekarang selalu diisi dengan mencari kabar mengenai ketiga anaknya. Dia juga berharap ada keajaiban dari Tuhan.***
Jawa Pos

*************************
Created at 1:15 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]