<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/9838259?origin\x3dhttps://cintaku-be.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Hasil Keringat Puluhan Tahun Musnah Seketika | Wednesday, January 12, 2005


Hasil Keringat Puluhan Tahun Musnah Seketika

PEREMPUAN setengah baya itu berdiri terpaku di atas sebidang hamparan tanah. Matanya berkaca-kaca menatap serpihan papan kayu dan puing-puing tembok yang berserakan bercampur lumpur. Sesekali, pandangannya menerawang jauh tak terhalang apa pun, dari bibir pantai barat Aceh hingga laut lepas. Kini memang sudah tidak ada lagi satu pun bangunan yang menjadi penyekat antara tempat dia berdiri dan bibir pantai.

PEREMPUAN itu bernama Zuwarni Zainum (48). Ia sedang berdiri termenung di atas sebidang tanah di Jalan Haji Bintang, Lorong Pribadi, Lamjabat, Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh.

Ingatannya mundur sedikit ke belakang, kira- kira tiga pekan silam. Minggu ketiga Desember 2004, dalam sebuah rumah yang berdiri di atas tanah yang ia pijak, Zuwarni masih sempat bercengkerama dengan suami, tiga putrinya, seorang menantu, dan seorang cucu berusia enam bulan.

Kini canda tawa dan kehangatan suasana keluarga itu tinggal kenangan. Semuanya sirna tersapu gelombang tsunami yang menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004.

Dari tujuh anggota keluarga yang menghuni rumah itu, hanya dua yang selamat, yakni Zuwarni dan putri sulungnya, Maulidiyah Sari (24). Lima lainnya ikut tertelan gelombang tsunami dan hingga kini belum jelas nasibnya.

Mereka adalah Bustamin (53), suami Zuwarni yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai Museum Daerah Aceh; berikut dua putrinya, Ulfah Rahmi (21) dan Rizka Hakikah (14). Dua lainnya tergolong anggota keluarga yang masih baru, yakni menantu bernama Nasir (30) dan cucu perempuan yang bernama Syahirah (6 bulan).

Saat kejadian, mereka bertujuh berhamburan ke halaman rumah. Selanjutnya, mereka berlarian ke jalan raya mengikuti orang lain untuk mencari daerah yang lebih tinggi. Namun, ketika warga setempat masih berjejal-jejal di jalan raya, gelombang tsunami yang hitam pekat menggulung mereka. Suami, istri, dan anak-anak sudah tercerai-berai.

Zuwarni berupaya memeluk erat sebatang tiang pagar besi di sisi jalan. Setelah dirinya terangkat oleh gelombang air berlumpur, sesaat kemudian kepalanya terhantam benda keras sehingga empat gigi serinya rontok.

Dia bersyukur bisa selamat. Demikian pula putrinya, Maulidiyah Sari.

Namun, lima anggota keluarga lainnya sudah lenyap. "Betul-betul mukjizat jika mereka bisa ditemukan dalam kondisi hidup," ucap Zuwarni dengan nada pilu.

Ucapan itu sebagai pertanda kepasrahannya. Maklum, ketika berbincang-bincang dengan Kompas Sabtu pekan lalu, sudah dua pekan kegiatan pembersihan puing dan evakuasi jenazah para korban tsunami di Banda Aceh, tetapi belum juga ada tanda-tanda ditemukannya anggota keluarga Zuwarni yang hilang itu.

ZUWARNI tidak hanya kehilangan sebagian besar anggota keluarga yang dicintainya. Ia juga kehilangan rumah tempat tinggal yang ia bangun sekitar lima tahun lalu dari hasil jerih payahnya menekuni profesi guru.

Setamat Fakultas Ilmu Pendidikan di Universitas Syiah Kuala tahun 1981, Zuwarni langsung mencoba peruntungannya dengan melamar sebagai guru di SMA Negeri 3 Banda Aceh. Sedikit demi sedikit gajinya sebagai guru berstatus pegawai negeri ia sisihkan untuk ditabung.

Guru sejarah itu bernasib baik karena suaminya pun seorang pegawai negeri di museum daerah setempat yang sangat mendukung kegigihannya dalam menabung. Sekitar 15 tahun kemudian, tabungannya sudah cukup untuk mewujudkan cita- citanya membangun sebuah rumah permanen. Berukuran 20 x 16,5 meter, rumah beton yang dibangunnya terdiri atas empat kamar. Bagi warga perkampungan Lamjabat, rumah seukuran itu sudah tergolong besar.

Kini, rumah yang merupakan simbol kemapanan hidup dan status sosial, yang dibangun dari hasil jerih payah berpuluh tahun menekuni profesi guru, itu tak lagi menaungi kehidupan Zuwarni. Khusus, di Banda Aceh, Zuwarni dan Maulidiyah Sari tercatat sebagai salah satu pengungsi yang berjumlah lebih dari 31.000.

Kedua perempuan yang mendadak jadi janda itu memang tak tidur di tenda-tenda pengungsi yang beratapkan terpal. Namun, kondisi tempat bernaung mereka saat ini tidak lebih baik dari tempat bernaung pengungsi pada umumnya.

Keduanya kini menumpang tidur di rumah sanak famili, di sebuah rumah di kawasan kumuh Lamteh Ulee Kareng. Pengapnya udara di rumah itu terasa kian menyesakkan dada manakala Maulidiyah Sari menjerit histeris karena trauma kehilangan bayi, suami, ayah, dan kedua adiknya.

Kalau sudah begitu, Zuwarni hanya bisa mengelus rambut putrinya seraya berujar, "Sabarlah. Di balik ini pasti ada rahmat yang jauh lebih besar."

KISAH Zuwarni Zainum sama pilunya dengan kisah Hamdani (34). Guru fisika yang masih berstatus kontrak di SMA Negeri 11 Banda Aceh itu juga kehilangan orang-orang yang dicintainya. Istrinya, Nurdalina (34); serta dua putrinya, Mutiara Zikrunnisa (5) dan Irhamna Maulidiyah (3,5), ikut hilang tersapu tsunami.

Ironisnya, ketika istri dan kedua anaknya meregang nyawa bersamaan dengan ambruknya rumah kontrakan mereka di Kompleks Polayasa Cot Paya, Aceh Besar, Hamdani justru tidak sedang bersama mereka.

Minggu pagi yang naas itu, Hamdani sedang mengantar mebel berupa meja kursi untuk SMA 11 Banda Aceh. Memasok mebel ke sekolah-sekolah merupakan pekerjaan sampingan Hamdani untuk menghidupi keluarga. Maklum, penghasilannya sebagai guru kontrak cuma Rp 460.000 per bulan, sementara upah yang diperolehnya sebagai guru honorer di SMA 3 tak lebih dari Rp 36.000 per bulan.

Hamdani adalah satu dari 1.000 guru lebih yang tidak sempat memberikan pertolongan kepada anak dan istrinya dari terjangan tsunami lantaran waktunya tersita untuk mencari penghasilan tambahan.

Untungnya, Hamdani masih bisa berpikir jernih. Di balik rasa pilunya, ia berupaya mengimbangi kesabarannya dengan rasa syukur.

Zuwarni dan Hamdani boleh bersyukur karena nasib mereka masih lebih beruntung: tidak sampai masuk dalam daftar sekitar 1.500 guru di NAD yang meninggal karena tsunami.
Keduanya masih diberi kesempatan Yang Maha Kuasa untuk mengabdikan sisa umurnya dalam misi pencerdasaan bangsa meski imbalan yang diterimanya kerap tak seimbang dengan kemuliaan hatinya. (NASRULLAH NARA)

*************************
Created at 9:28 AM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]