<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/9838259?origin\x3dhttps://cintaku-be.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Hilangnya Sang Anak Tunggal | Monday, January 17, 2005


Hilangnya Sang Anak Tunggal

Sudah satu jam lebih Yusuf (32) duduk bengong di ruang tunggu Rumah Sakit Umum Fakinah, Banda Aceh. Kemeja kotak-kotak coklat yang dikancing hingga pergelagan tangannya begitu lusuh. Tangan kirinya menggengam botol air mineral yang berisi setengah.

Ditatapnya satu per satu tenaga medis yang lalu lalang membawa bungkusan plastik putih berisi obat-obatan. Sesekali dia mengernyitkan dahi kepada seorang personel militer Australia yang mengajaknya tersenyum. Tersembul sedikit luka dari wajahnya yang kusut.

Sudah dua minggu saya berkeliling Banda Aceh untuk mencari anak saya. Tapi, hingga sekarang anak saya belum ada kabarnya, Yusuf membuka perbincangan pada acehkita, Sabtu (15/1) sore.

Buah hatinya adalah Rizal, anak satu-satunya hasil perkawinan warga Ulee Lheu, Kecamatan Meuraksa, Kota Banda Aceh ini dengan Yunizar, wanita asal Tapak Tuan, Aceh Selatan. Menurut Yusuf, Rizal hilang setelah tsunami menghancurkan kawasan pesisir kampungnya.

Rizal berusia enam tahun. Rencananya, kami akan memasukkan Rizal ke sekolah dasar pertengahan tahun ini, kata Yusuf, sembari menunjukkan selembar foto anaknya.

Terlihat seorang bocah berwajah manis, kulit putih dan mata kebiruan. Bagi Yusuf, Rizal adalah segalanya. Rizal selalu mengobati lelahnya saat baru pulang dari kantor tempat Yusuf bekerja di sebuah perusahaan swasta. Anak semata wayang ini pula yang selalu menemaninya tidur atau jalan-jalan sore keliling kota.

Kini saya kehilangan dia, ujar Yusuf. Lalu dia terisak sesaat. Kemudian, dia mencoba kembali tenang. Yusuf memulai ceritanya, sebuah kisah pahit yang kini menjadi mimpi terburuknya.

***

Pagi itu, 26 Desember 2004. Yusuf baru saja bangun dan beranjak dari tidurnya. Sedikit kesiangan, karena dia sengaja bangun lebih telat pada hari Minggu. Yusuf terbangun setelah Rizal mengguncang pundaknya beberapa kali. Rizal mengatakan ada gempa yang baru saja terjadi.

Semalaman itu saya begadang sambil nonton televisi. Kalau tidak dibangunkan Rizal, mungkin saya masih terus tidur, cerita Yusuf.

Mendengar kabar gempa dari anaknya, Yusuf masih berusaha tenang sambil perlahan menuju ruang tamu rumahnya yang berukuran 4 x 6 meter. Di sana, Yusuf berusaha menenangkan anak dan istrinya dengan cara duduk di lantai sambil berdoa.

Saya masih tenang saat gempa masih kecil. Dan saya benar-benar tenang setelah gempa reda sesaat, katanya. Menurut Yusuf gempa pertama terjadi lima menit sebelum jam 08.00 WIB.

Tapi, katanya, sungguh di luar dugaan. Gempa kembali terjadi. Kali ini kekuatannya lebih dahsyat. Tubuh saya terjerembab begitu saja. Lalu saya mencoba bangun dan menggendong Rizal menuju halaman depan rumah. Tangan kiri saya merangkul pundak istri, katanya.

Di luar rumah, ternyata Yusuf mendapati ratusan warga dan tetangganya berteriak ketakutan. Sesekali pekik takbir Allahu Akbar terdengar dari mulut-mulut mereka. Yusuf bahkan melihat langsung dengan kedua matanya saat beberapa bangunan rumah dihadapannya tumbang mencium tanah.

Merasa tidak aman, Yusuf langsung menyusul gerombolan warga yang mulai berlarian ke arah jalan raya. Rizal tetap berada di gendongan sambil menangis ketakutan. Sedangkan Yunizar, istrinya, berlari mengikuti sang suaminya sambil mengangkat rok dan menjinjing sepasang sandal jepit.

Saat itulah Yusuf mendengar gemuruh yang begitu besar dari arah pantai. Dia mengaku sempat mengalihkan pandangan ke belakang. Masya Allah... Saya melihat air setinggi pohon kelapa sekitar seratus meter di belakang saya, ceritanya.

Langkah kaki Yusuf untuk menyelamatkan nyawa diri, anak dan istrinya ternyata kalah cepat dengan arus tsunami yang dahsyat. Semua warga panik. Masing-masing berupaya menyelamatkan diri. Tak ada guna lagi berpaling ke belakang, kendati teriakan tolong dari warga terus berkecamuk.

Saya meminta istri saya untuk melepas genggaman tangannya, lalu dia menurut dan lari sambil menangis. Sementara saya, sudah bertekad, jika pun saya mati, saya tidak akan melepas Rizal dari gendongan, sambungnya.

Tapi, Tuhan berkehendak lain. Niat Yusuf yang membara untuk tetap bersama anak tunggalnya diluluhlantakkan oleh gelombang yang datang.

Anak saya terlepas dari gendongan ketika air mulai meninggi dan menenggelamkan dada saya,cerita Yusuf yang sudah tampak tenang.

Tak Kunjung Jumpa
Beberapa menit setelah air laut surut ke pantai, Yusuf mulai panik karena kehilangan buah hati yang begiru dicintainya. Yunizar yang berhasil selamat dengan memanjat sebatang pohon tinggi, berdiri di sebelahnya sambil memeluk pundak suami dari arah belakang.

Saat itu, saya masih tidak yakin dengan kejadian yang baru saja saya alami. Saya berharap agar semua itu mimpi. Tapi ternyata itu nyata, katanya.

Setelah yakin situasi kembali aman, perlahan Yusuf dan istrinya mulai berjalan mencari Rizal. Dia terus berjalan ke berbagai arah. Dia tak mengenali lagi kampungnya. Bahkan, Yusuf tidak bisa mengenali lagi lorong-lorong yang biasanya dilalui saat pulang dari kantor. Tidak ada lagi rumah di sana. Yang tersinya hanya balok-balok kayu dan genangan lumpur.

Saya mencari anak saya di sana sampai maghrib. Tapi Rizal tidak ditemukan. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan kampung itu untuk mengungsi ke desa terdekat, ungkapnya. Yusuf tak sendiri. Ratusan warga lain yang selamat ikut mengungsi bersamanya.

Keesokan harinya, Yusuf kembali ke kampungnya untuk mencari anaknya. Tapi nihil, Rizal tetap tidak ditemukan. Demikian juga esoknya dan seterusnya. Buah hatinya yang baru bisa mengayuh sepeda ini lenyap bak ditelan samudera.

Setiap hari selama seminggu, saya menunggui tiap-tiap jenazah korban yang dievakuasi oleh relawan. Saya berharap, jika pun anak saya sudah meninggal dunia, saya bisa melihat jasadnya untuk terakhir kali. Tapi tidak berhasil juga, kata Yusuf.

Kali ini dia menangis tanpa menghiraukan orang yang sedang keluar masuk pintu utama RSU Fakinah.

Hingga kini, Yusuf masih berusaha menemukan anaknya. Puluhan lokasi penampungan pengungsi sudah didatanginya. Sejumlah rumah sakit tempat perawatan korban selamat sudah dijenguknya. Tapi Rizal, anak tunggalnya itu belum ditemukan juga.

Bahkan, nasib Yusuf makin terasa getir setelah istrinya terpaksa dirawat di salah satu posko kesehatan tim medis asing akibat kelelahan dan kondisi kesehatan fisiknya yang menurun. [dan]

Monday, January 17, 2005
Dika - Banda Aceh, 2005-01-17 08:48:36

*****

*************************
Created at 9:52 AM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]