<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/9838259?origin\x3dhttps://cintaku-be.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Kesaksian Korban Tsunami, Yunizar, Abdul, dan Halimah ..... | Saturday, January 22, 2005


Kesaksian Korban Tsunami, Yunizar, Abdul, dan Halimah

Air Laut Sempat Surut dari Pinggir Pantai Sekira 1 Kilometer

MINGGU 26 Desember 2004. Yunizar (35) mengikat perahu boat-nya di sebatang pohon kelapa yang ada di kawasan pariwisata Lampuuk, Kecamatan Lhok Nga, Aceh Besar atau sekira 20 km arah barat Kota Banda Aceh.

Meski waktu belum menunjukkan pukul 8.00 WIB, Yunizar mengakhiri kegiatannya memancing di laut. Entah kenapa, hanya sedikit ikan yang dia peroleh hari itu. Padahal permintaan ikan segar untuk hari Minggu biasanya banyak, seiring berdatangannya para wisatawan yang doyan ikan bakar di sepanjang Pantai Lampuuk.

Yunizar sempat merasakan gempa saat kapalnya merapat di pantai. Akan tetapi, gempa itu tak kuat terasa. Saat gempa pertama berkekuatan 8,9 richter itu, dia masih berada di tengah laut. "Saya melihat kondisi laut tiba-tiba agak aneh saat itu," katanya kepada "PR", baru-baru ini.

Maksud ungkapannya itu, yakni pada hari Minggu (26/12), ombak tidak memecah bibir pantai, namun bergeser terus ke tengah hingga membentuk gelombang setinggi 10 meter. Dirinya yang sudah lima tahun bergelut profesi sebagai nelayan tahu betul setiap "perubahan" air laut. Apalagi dia tinggal di Desa Balee, Kemukiman Lampuuk yang terletak di garis pantai. Tapi dari semua pengetahuannya tentang laut, hanya satu yang terlewati, malah sialnya justru inilah yang paling penting, yaitu dia tidak tahu bahwa akan ada gelombang tsunami selepas gempa.

Betapa ia termangu melihat ombak raksasa itu bergerak perlahan menuju pantai dari arah tengah laut. Dari laut, terlihat gerakannya lambat, sehingga membuat Yunizar sempat terpaku hingga 10 menit.

Saat itu, posisinya sendiri sudah berada di tepi pantai dan hendak melabuhkan perahunya. Ketika sadar bahwa ombak itu bisa mencapai daratan, Imran sudah terlambat untuk secepatnya lari ke perkampungan. Dia akhirnya memutuskan naik ke atas sebuah pohon pinus yang berjajar di dekatnya.

Tidak lama dia tiba di pucuk pohon pinus, dia melihat ada dua gelombang setinggi 10 meter dan 15 meter itu susul menyusul mendekati bibir pantai. Warnanya hitam pekat. Gelombang pertama langsung menghantam dirinya yang sedang bertengger di atas pohon pinus.

Yunizar memeluk batang pinus yang kasar itu dengan sekuat tenaga. Mulutnya membaca doa. Dia berhasil, pegangannya cukup kuat. Setelah menghantam pohon pinus, ombak itu kemudian bergerak menghantam pemukiman Lampuuk.

Tempatnya tinggal selama ini. Dalam sekejap, pemukiman yang berada di tepi pantai itu rata dengan tanah. Penderitaannya ternyata belum selesai. Gelombang susulan setinggi mencapai 15 meter kembali datang dan menghantam dirinya. Kali ini pegangannya pada pohon pinus terlepas. Yunizar langsung terjun bebas ke air laut yang penuh dengan kayu itu.

Berkali-kali dia dibawa berputar-putar selama dua jam. Kadang dirinya terantuk kayu dan seng. Cukup banyak air laut bercampur lumpur itu yang terminum olehnya. "Sampai akhirnya saya berhasil meraih sebuah papan. Papan itu yang menyelamatkan saya," katanya tersenyum.

Celakanya, dia merasa sangat lemah. Di atas papan itu, Imran tertidur saking lelahnya. Dia baru bangun ketika jam di tangannya menunjukkan pukul 15.00 WIB. Dia masih di air saat papannya mengarahkannya ke dekat pemukiman Lamlhom, Aceh Besar, sekira tiga kilometer dari Kemukiman Lampuuk.

Yunizar beruntung karena selamat dari gelombang tsunami. Tapi tak urung, ia kehilangan 15 orang anggota keluarganya, termasuk istri dan anaknya.

* *
KENYATAAN senasib juga dialami Abdul (37). Pria asal pemukiman Lampuuk ini kehilangan orang terdekatnya. Bahkan, 30 anggota keluarga besarnya lenyap digerus tsunami. Abdul mengaku dibawa gelombang ke pemukiman Lamlhom, sehingga akhirnya terpaksa mengungsi di sana. Namun dia menolak disebut sebagai pengungsi asal Lamlhom.

Memang bukan hanya Yunizar dan Abdul yang diseret hingga Lamlhom. Ada 750 warga Lampuuk lainnya yang selamat yang juga didamparkan di sana. Jumlah ini tentu saja tak seberapa dibanding jumlah penduduk Lampuuk yang mencapai 6.000 jiwa dan tersebar di lima desa itu. Dari 750 orang yang selamat itu, semuanya ada laki-laki. Jarang terlihat anak-anak atau perempuan. "Untuk selamat memang selain perlindungan Allah juga ditentukan kuat tidaknya kita bertahan di air," kata Yunizar.

Ketika ditemui "PR" saat itu, mereka sedang membuat tenda di kawasan Lamlhom. Pengungsi Lampuuk yang paling banyak terdapat di Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Lamlhom.

"Syukurlah, di Lhamlom ini air bersih cukup banyak. Kalau tidak bisa bahaya," katanya.

Untuk sementara, saat "PR" berada disana, mereka bertahan dengan bantuan yang sekadarnya dari para dermawan. Tapi kini "PR" pun tidak tahu dan hanya berharap, mudah-mudahan Yunizar beserta pengungsi lainnya telah mendapat bantuan.

Namun satu jawaban, ketika ditanya apa keinginan mereka selepas bencana? Jawab mereka "Kami ingin pulang, kembali ke daerah kami."
* *
LAIN lagi cerita korban tsunami bernama Halimah. Wanita (31) asal Kampung Belakang, Meulaboh. Minggu pagi itu (26/12) setelah gempa dirinya pergi ke pantai bersama ratusan warga kampung lainnya. Orang ramai ke sana, karena ingin melihat air laut kering (surut). "Betul, saya melihat air kering sampai sekira 1 kilometer," katanya kepada "PR"

Pengakuan Halimah ini senada dengan Yunizar dan Abdul. Memang, saat itu konon banyak warga terpesona melihat fenomena alam yang belum pernah tersaksikan mata itu. Malah tak sedikit orang dewasa dan anak-anak berebutan menangkapi ikan-ikan yang menggelepar di pasir yang tadinya dasar laut.

"Hampir setengah jam orang-orang berebutan ikan, tapi ya Allah sekejap terdengar suara bergemuruh dari arah laut. Saya melihat gulungan air bah setinggi sekira 10 meter dari kejauhan. Saat itulah orang-orang mulai panik dan berlarian," tuturnya.

Dengan sekuat tenaga dirinya berusaha lari ke arah kampung mereka. Saat itulah dia masih melihat banyak orang yang berjatuhan dan kesulitan untuk berdiri. Anak-anak yang tadi menangkapi ikan juga terlihat panik. Saat menoleh ke belakang, gulungan air yang mengalir cepat itu terlihat semakin dekat menyapu apa saja yang menghalangi.

Halimah beruntung, meski terjatuh sampai tiga kali, dia terus berlari dan sampai ke perkampungan. Karena panik, dia sembarangan masuk ke rumah orang. Rumah itu berdinding permanen. "Saya rasa, saya pasti aman di situ karena dindingnya batu," katanya lagi.

Tapi air terus menerjang. Malah semakin kencang dan terus meninggi. Merasa kurang aman, Halimah lalu memanjat langit-langit rumah. Dia lalu memukul asbes rumah itu sampai pecah, naik ke kuda-kuda rumah dan sampai ke atap rumah. "Tanganku sampai luka," katanya sambil menunjukkan bekas luka yang sudah mengering. Ternyata di situ sudah banyak orang. Air terus meninggi. "Tolong, tolong, tolong," jerit orang yang terseret air di tengah deru air. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menangis ketakutan.

Selama 31 tahun tinggal di kampung itu, tak pernah dia melihat air naik setinggi itu. Air terus naik. "Seingat saya gelombang air datang sampai tiga kali. Dan yang kedua paling parah sampai menelan sejumlah rumah di kampung kami," katanya sambil mengingat kejadian itu.

Karena takut ikut terseret arus, ia pun lalu pindah ke rumah lain yang lebih tinggi. Dari situlah matanya merekam semua pemandangan yang memilukan. Banyak orang yang terseret arus tapi tidak bisa berenang karena tersangkut kayu dan bahan-bahan bangunan lain.

Beberapa jam kemudian perlahan-lahan air mulai surut. Merasa sudah aman, Halimah lalu turun dan mencoba mencari suami dan anaknya yang terpisah saat lari menyelamatkan diri.

"Aku ke Masjid Agung, karena orang banyak berkumpul di situ."

Beruntung, mereka masih hidup dan berada di Masjid Agung. Malam itu mereka menumpang tidur di rumah orang yang tidak terkena hantaman tsunami.

Saat itu, mayat-mayat masih berserakan. Didorong rasa lapar, sang suami Anwar lalu berusaha mencari makanan ke toko-toko yang sudah porak-poranda.

"Untunglah kami bisa menemukan biskuit dan Indomie. Selama dua hari, hanya itulah yang bisa kami makan," katanya.

Hari Rabu (29/12), bantuan bahan makanan mulai datang. Karena merasa masih trauma, dirinya bersama keluarganya lalu mengungsi ke Medan dengan menggunakan transportasi darat. Karena tidak punya saudara di Medan, mereka lalu bergabung bersama pengungsi lainnya di posko bencana. Sedikit lega karena banyak orang dan jauh dari kampungnya, juga berada di posko tersebut.

Sekarang ini, Halimah cuma bisa berharap bantuan dari pemerintah. "Saya dengar, keluarga yang terkena bencana akan mendapat uang besar," tanyanya kepada "PR".

Seandainya pemerintah membangunkan kembali rumah mereka, ia bersama suami dan anaknya, masih ingin kembali ke Meulaboh. "Tapi kalau tidak, saya tak mau ke sana lagi. Apalagi kami sudah tidak punya apa-apa di sana. Tolonglah sampaikan pesan kami ini," lanjutnya menutup cerita. (Rizwan/"PR")***

*************************
Created at 7:28 AM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]