Kisah Istri Wartawan Menunggu Keajaiban Kedua | Wednesday, January 12, 2005
Kisah Istri Wartawan Menunggu Keajaiban Kedua
Secara fisik, kondisi Maisarah M Nur (34), jauh lebih baik dibanding beberapa hari sebelumnya. Perempuan itu sudah bisa menggerakkan kaki kirinya yang dibalut perban, meski rasa nyeri masih mendera. Rasa sakit diakuinya masih menyiksa sekujur tubuh, tetapi dia sudah bisa berjalan walau tertatih-tatih. Barangkali karena alasan fisik yang jauh lebih baik itulah, Selasa (11/1), keluarganya memutuskan untuk membawa pulang Maisarah dari rumah sakit Sakinah, Lhokseumawe, Aceh.
Namun secara psikis, tak ada yang tahu. Untuk urusan yang satu ini, pihak rumah sakit sudah mendatangkan psikiatri selain tiga dokter spesialis lainnya. Muhammad Taufik, abang kandung Maisarah, mengakui kondisi mental adiknya jauh lebih baik. Tapi sesekali ia masih teringat dengan kejadian itu, katanya.
Artinya, Maisarah masih trauma. Memang tak mudah melupakan kiamat itu. Apalagi, Maisarah harus kehilangan tiga putri dan suaminya tercinta. Saat detik-detik terakhir, Maisarah yang akrab disapa Mai, masih berusaha menyelamatkan anak ketiganya yang berumur tiga tahun yang ketika tsunami datang berada di gendongnya. Sementara putri pertama dan kedua menyelamatkan diri dengan anak tetangga.
Dijumpai di rumah saudaranya di Hagu Teungoh, Lhokseumawe, Selasa malam (11/1), Mai mengaku sempat masuk ke dalam rumah ketika anaknya berteriak air datang. Saya pikir cuma air biasa saja. Saya pikir, harus ada sedikit uang untuk persiapan. Tapi anak saya yang kedua melarang masuk.Sudah Mak, jangan masuk lagi. Kakak takut. Begitu anak saya berkata. Bahkan dia sempat melihat dinding hitam setinggi 10 meter lebih. Dia tidak tahu apa itu, cerita Mai dengan suara terbata-bata.
Mai sempat ingat suaminya, Muharram M Nur. Setelah gempa pertama terjadi, sekitar pukul 08.00 WIB di hari Minggu (26/12) itu, Muharram pamit pergi mengambil foto penjara Kajhu yang rubuh dengan mengendarai mobil. Muharram adalah seorang jurnalis yang sehari-hari bekerja sebagai Redaktur Pelaksana di Tabloid Kontras (Banda Aceh). Muharram juga pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.
Sesaat setelah gempa, Muharram berusaha menghubungi rekan-rekannya yang bekerja di kantor berita Associated Press, Jakarta.
Tapi tidak bisa. Tidak ada sinyal. Kemudian Abang pinjam HP (handphone) saya. Ditelepon ke Jakarta tidak bisa. Dikirim SMS juga tidak bisa. Padahal HP saya sinyalnya penuh, lanjut Mai.
Saat berusaha menyelamatkan diri, Mai sempat terjatuh hingga anak ketiganya yang dalam gendongan, terlepas. Ketika air mulai tinggi, dia sempat meraih kaki anaknya kembali, tapi terlepas lagi. Tangannya yang masih menggapai-gapai di tengah lautan air, masih mampu menjangkau kaki anaknya untuk kedua kali.
Saat itu saya sempat melihat wajah Anis (anak ketiganya) sesaat. Mungkin ketika itu dia sudah tidak ada lagi (sudah meninggal).
Gelombang yang muncul pertama kali, airnya masih bersih dan tanpa sampah. Namun pada gelombang kedua, terjangannya lebih keras dan disertai aliran sampah berupa seng, balok, dan segala macam benda keras yang mampu disapu gelombang tsunami.
Entah terseret ke mana, setelah itu Mai naik ke sebuah tembok yang agak tinggi. Dia tak yakin dengan apa yang baru saja dialaminya. Dia merasa semua itu hanya mimpi. Dengan seluruh tubuh terendam air kecuali leher, dia melihat burung-burung berterbangan di udara. “Ya Allah, ternyata ini bukan mimpi...
Di atas ketinggian itu pula Mai melihat tetangganya meminta tolong. Mai tak bisa berbuat apa-apa selain memintanya mengucapkan dua kalimah syahadat. Itu juga yang saya lakukan setiap kali terminum air laut, tambahnya lirih.
Setelah air mulai surut, antara sadar dan tidak, Mai mendengar suara sejumlah anggota Brimob mencari korban yang selamat. Mereka bilang di sini tidak ada yang selamat. Saya teriak, ada. Di sini saya. Kemudian mereka menolong saya.
Ketika anggota Brimob itu datang, Mai sempat dihinggapi rasa takut karena wajah aparat kepolisian itu sangar-sangar. Jauh dari kesan ramah. Tapi ternyata hatinya sangat lembut. Dialah yang menjadi malaikat penolong Mai. Dia yang memberi pakaian karena baju yang dikenakannya sudah copot ketika melawan terjangan gelombang.
Setelah air surut, saya haus sekali. Saya minta air, tapi tidak ada. Anggota Brimob itu mengatakan akan memanjat kelapa dan buah kelapa itu dibuka dengan gigitannya. Saya bilang jangan. Akhirnya saya minum air laut yang masih bersih dengan telapak tangan anggota Brimob itu sebagai cangkir, ceritanya.
Ibu tiga putri itu baru sadar kaki kirinya luka parah sampai terlihat tulang setelah diberitahu anggota Brimob tersebut. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit Fakinah dengan mobil, tapi ternyata tidak bisa menerima pasien. Kemudian dia dibawa ke rumah seorang warga.
Setiap ada teriakan air naik, anggota Brimob itulah yang membawa saya ke lantai atas. Dia juga berjanji akan membawa saya ke rumah sakit dengan sepeda karena mobil dan motor kehabisan bensin.
Sampai hari Senin, luka kaki Mai belum mendapat perawatan hingga membusuk. Seorang adik iparnya kemudian mencari obat luka Betadine dan mengobati seadanya. Ketika keluarga dari Lhokseumawe datang, Mai dibawa ke Sigli untuk perawatan. Tapi di sana, Mai sempat diabaikan selama dua hari. Dokter hanya menyuruh perawat mengolesi Betadine.
Baru hari Rabu (29/12/2004) Mai ditangani seorang dokter dari Riau. Tapi saya dirawat seperti ayam. Dia menangani luka saya tanpa empati sedikitpun, tuturnya pasrah.
Kini Mai sudah selamat. Kondisinya pun jauh lebih baik setelah mendapat perawatan di Lhokseumawe.
Tahukah Mai siapa malaikat penolongnya itu?
Saya sempat tanyakan namanya. Tapi dia bilang itu tidak penting. Saya lihat di bajunya namanya entah Rio, atau seperti itu. Yang jelas dia bukan aparat Brimob organik, sahut Mai.
***
Mai tampak tabah saat bercerita tentang pengalaman buruk yang baru saja dialaminya. Dia sudah pasrah mengenai nasib suaminya Muharram dan ketiga anaknya. Kendati demikian, Mai masih mengharap datangnya keajaiban, seperti yang terjadi pada dirinya.
Kalau memang Allah masih memberi kesempatan bagi saya untuk memiliki mereka, saya pasti akan berjumpa dengan mereka kembali, harapnya.
Keberhasilan Mai menyelamatkan jiwanya adalah keajaiban. Belakangan Mai baru sadar dirinya terdampar sampai ke Lambaro Angan, atau sejauh lima kilometer lebih dari rumahnya di Perumahan Lambada Permai, Desa Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Perumahan itu terletak sekitar tiga kilometer dari bibir pantai.
Dari 35 kepala keluarga yang ada, hanya sekitar 14 orang yang selamat, kata Mai.
Di tengah keputusasaan itu, muncul setitik harapan. Saudara Mai, Muhammad Jamil, mengatakan dia pernah bertemu dengan seseorang yang mengenal Muharram. Terakhir kali, orang itu sempat melihat Muharram mengambil foto di Peunayong. Ketika itu, ada sejumlah pejabat NAD mengunjungi bangunan yang rubuh. Katanya di sana ada tanah retak dan dari bawahnya mengucur air hitam. Tapi bisa jadi orang itu salah lihat, kata Jamil tentang orang bernama Tarmizi tersebut.
Sebelum dievakuasi ke Sigli dan Lhokseumawe, Mai juga sempat melihat anak tetangga yang semula berlari menyelamatkan diri bersama dua anaknya. Mereka selamat. Saya sempat tanyakan dua anak saya yang bersama mereka di mana. Tapi karena anak-anak itu masih trauma, mereka tidak menjawab dengan jelas, tutur Mai.
Kini sambil menunggu kesembuhan, Mai hanya berharap datangnya keajaiban kedua. [dan]
Repoter: Cut Ida - Lhokseumawe, 2005-01-12 12:23:52 www.acehkita.com
*****
*************************
Created at 11:38 AM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]
|
|