Kisah Rizal yang Sebatang Kara dan... | Sunday, January 09, 2005
Kisah Rizal yang Sebatang Kara dan....
Dengan Butiran Nasi di Tangannya, Lari dari Bah Terjangan tsunami membuat Rizal Azhar kehilangan orang tua dan semua adiknya. LSM Lost Children Operation datang menolongnya. Bagaimana dia bisa dipertemukan dengan pamannya?
Army Dian Kurniawan, Banda Aceh RIZAL Azhar langsung bangkit ketika adiknya, Wilda Rahmi, 12, membangunkannya pada Minggu pagi itu. Jam dinding dilihatnya sudah lewat pukul 08.00. Wilda mengajak sang kakak yang berusia 15 tahun tersebut makan pagi setelah mandi.
Biasanya, setelah salat subuh, Rizal berlari pagi bersama teman-teman sebayanya menuju kota. Tempat tinggalnya, Desa Lam Hasan, Kecamatan Peukan Bada, Banda Aceh, hanya berjarak sekitar 2,5 kilometer dari pusat kota. Tapi, pagi itu, Rizal memilih tidur lagi.
Setelah bangun, dia belum sampai ke kamar mandi ketika rumahnya bergetar hebat. Barang-barang berjatuhan. Beberapa piring di meja makan jatuh dan pecah. Dinding rumahnya retak-retak. Kaca jendela dan pintu berantakan. Seisi rumah pun panik.
Belum pernah seumur hidup dirinya merasakan gempa sekeras itu. Semua yang ada di rumah berlarian keluar. Sang ibu, Zuhrawati, memeluk kedua adiknya, Wilda dan Nurhaliza, 9, sambil merunduk menjauhi rumah. Ayahnya, Samida, sudah meninggal empat tahun lalu.
Empat saudaranya yang saat itu sedang berada di rumahnya pun kalut. Mereka juga berlari menuju jalan. Di sana sudah banyak tetangga yang bertiarap di jalan.
Getaran kemudian mereda. Semua kembali ke dalam rumah. Sembari masih memperbincangkan hal yang sebenarnya terjadi, keluarga memulai sarapan pagi bersama sambil menonton televisi. Piring-piring dan gelas yang pecah serta barang yang berantakan sudah dibereskan.
Rizal menikmati lauk dengan lahap. Dia tak jadi mandi. Saat sedang nikmat-nikmatnya bersantap, tiba-tiba di luar rumah terdengar suara orang berteriak, "Air! Air!"
Suara gemuruh menyusul di belakangnya. Dari jendela yang sudah bolong, Rizal melihat banyak orang berlarian tak keruan sambil mengangkut barang-barang. Dia dan ibunya kembali keluar rumah diikuti si bungsu, Nurhaliza. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka sambil berlari dan menunjuk ke belakang mengabarkan bahwa air laut naik.
"Bilang sama semua, kita lari ke gunung!" teriak pemuka kampung. Pada saat menengok ke arah yang ditunjuk, Rizal melihat gumpalan hitam besar bergulung-gulung dengan cepat menuju ke arah mereka berdiri. Semuanya histeris dan berlari secepat-cepatnya tanpa menghiraukan barang-barang di rumah.
"Saya ingat betul, beberapa butir nasi putih masih menempel di tangan saya saat saya mulai berlari," tutur remaja ini. Dia mencoba mencari ibu, adik-adik, serta saudara-saudaranya. Namun, orang-orang yang berkumpul bersamanya di meja makan lima menit lalu itu sudah tak ada.
Sebentar, dia mencari-cari. Tapi, pandangannya terhalang orang-orang yang berlarian semrawut. Rizal lantas memutuskan untuk terus berlari tanpa menengok lagi ke belakang. Yang terpikir saat itu hanya segera menjangkau daerah perbukitan yang jaraknya sekitar satu kilometer dari kampung.
Rizal tidak ingat lagi berapa cepat dan berapa lama dia berlari. Genangan air dan lumpur seakan susul-menyusul dengan langkahnya. Suara gemuruh dibarengi hantaman benda-benda keras semakin terdengar mendekat di belakangnya.
Bulu kuduknya sampai merinding. "Entah telinga saya yang tak normal atau apa. Seingat saya, waktu berlari itu, tidak terdengar lagi teriakan orang-orang. Selain suara yang sangat keras di belakang, selebihnya tidak ada suara," kisahnya sambil menerawang.
Rizal mencapai bukit dengan kaki amat letih. Di sana, ternyata banyak orang yang berkumpul. Para lelaki seperti berteriak-teriak tak menentu sambil menunjuk-nunjuk ke bawah. Sementara itu, perempuannya kebanyakan menangis terisak-isak. Anak-anak menangis lebih keras. Suasana sangat kacau.
Dia melihat ke bawah. Jalan yang baru saja dilaluinya sudah dipenuhi air kira-kira setinggi dua setengah meter. Sudah tidak ada lagi gulungan ombak seperti yang dilihatnya sebelum berlari tadi. Sekarang, hanya air yang membawa dan seolah mempermainkan balok-balok kayu, mobil, dan mayat-mayat terapung-apung. Agak jauh di sana, rumah-rumah sudah terendam. Dia tak mengenali lagi di mana persisnya rumahnya.
"Mata saya perih," kenangnya. Mungkin ingin menangis, tapi tak bisa. Keluarganya dicari ke sana ke mari. Mereka tak ada. Hanya beberapa kawan sepermainan dan orang tua teman yang ada.
Setelah air surut, Rizal dan orang-orang sekampungnya memutuskan untuk turun ke kampung lagi. Sepanjang jalan pulang, dia terus menengok ke kanan-kiri dengan harapan, ada ibu, adik, atau saudara lainnya. Tapi, sia-sia.
Rumahnya juga sudah rata dengan tanah. "Semua habis. Rontok, Bang. Tak ada apa pun yang bisa diambil (diselamatkan) lagi," ujarnya. Rizal tampak tegar saat mengisahkan peristiwa mengerikan itu. Matanya tetap tajam saat menerawang dan membayangkan kejadian tersebut.
Hingga sore, tetap tak ada kabar tentang keluarganya. Rizal akhirnya ikut mengungsi ke rumah saudara tetangganya di daerah kota. Di sana, kerabatnya itu bertemu dengan anggota tim relawan dari posko bantuan kemanusiaan Lost Children Operation (Operasi Anak Hilang) dari daerah Amaliah. Relawan tersebut masih orang Aceh juga.
Rizal pun difoto dan ditanyai hal ihwal keluarganya. Kemudian, foto dan keterangan tentang dirinya ditempel di sejumlah tempat umum di Banda Aceh. Saudara tetangganya menjadi pihak yang dikontak bila ada orang yang mengaku keluarga atau kerabat.
Ternyata, upaya itu membuahkan hasil. Hari itu juga, pamannya menemukan dia. Relawan Lost Children Operation mengecek dan yakin bahwa yang datang memang benar paman Rizal, mereka pun dipertemukan. Kini, Rizal tinggal dengan keluarga sang paman yang rumahnya ada di pusat kota. Tak jauh dari posko Amaliah.
Pertemuan itu tak lepas dari peran Ade Muhammad. Koordinator lapangan posko Amaliah tersebut mengungkapkan, mereka memilih cara yang berbeda untuk mempertemukan anak-anak yang telantar itu. Bukan sekadar menerima laporan kehilangan, mereka mengerahkan tim informan untuk mencari anak-anak sebatang kara ke kamp-kamp pengungsian atau desa-desa seputar Banda Aceh.
Setelah bertemu, anak itu difoto dan dicatat identitas yang diketahui, kemudian ditempel di kertas-kertas yang disebar ke beberapa sudut di dalam kota. Dengan demikian, orang yang merasa mengenal anak itu bisa dengan cepat menghubungi posko dan dipertemukan. Di antara 36 anak yang diumumkan terpisah dengan keluarganya hingga kemarin, baru dua yang bisa dipertemukan. Sebuah hasil yang cukup baik di tengah kesemrawutan pascagempa.
"Karena segalanya terbatas, para relawan tidak mendapat uang saku. Hanya uang makan dan kadang-kadang uang rokok. Benar-benar sederhana," papar Ade. Posko Amaliah masih membutuhkan banyak relawan untuk bergabung dengan mereka dan bersama-sama berusaha mempertemukan anak-anak hilang dengan keluarganya.
Sebenarnya, program Lost Children Operation merupakan bagian dari aid consortium yang melibatkan Jepang, AS, dan Australia. Tapi, entah kenapa distribusi dana bantuan belum sampai ke tangan mereka. Padahal, kata Ade, khusus untuk penanganan bencana Aceh ini, AS sudah mengucurkan dana USD 35 juta, sedangkan Jepang USD 0,5 miliar. "Tapi, getarannya tidak sampai pada kami," ujarnya sambil tergelak.***
www.jawapos.com
*************************
Created at 5:21 AM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]
|
|