<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/9838259?origin\x3dhttps://cintaku-be.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Reuni di Mata Ie | Monday, January 17, 2005


Tanggal: 16 January 2005 Kategori: Reportase

Reuni di Mata Ie
Tak pernah terlintas dalam pikiran Sofyan Musa (43) untuk meninggalkan istri dan kedua putrinya dijemput maut. Tapi nyaris seperti itulah yang terjadi pada hari Minggu, 26 Desember lalu.

Pagi itu, pegawai Kantor Kependudukan dan Mobilitas Penduduk Provinsi NAD ini mengajak dua dari empat putrinya berjalan-jalan, melihat usahanya di kawasan Jeulingke. Maka ditinggalkan lah dua orang putri dan istrinya, Teti (28), di rumah mereka di Desa Garot, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.

Tapi, Sofyan dan dua orang putrinya itu juga mendekati daerah maut. Yang jelas, saat gelombang datang, keluarga itu terpisah.

Saya sambil mengendong anak yang baru berumur 2,5 tahun dan memegang tangan anak usia enam tahun, lari ke jalan. Di sana mayat sudah bergelimpangan karena digilas bus, truk atau kendaraan lainnya, jelas Teti sambil menggeleng-geleng kepala, lalu menangis terbayang tragedi itu.

Menurut Teti, tak semua jenasah yang bergelimpangan di jalan-jalan itu akibat gempa atau gelombang tsunami, tapi ada juga karena digilas kendaraan roda empat, ketika terjadi kepanikan yang luar biasa dan setiap orang berusaha menyelamatkan jiwanya masing-masing.

Itulah yang disaksikan Teti. Gelombang tsunami belum lagi sampai di Desa Garot, tapi puluhan korban sudah berjatuhan di Jalan Elak, Banda Aceh. Jalan Elak itu dua jalur. Tapi tidak ada yang menggunakan jalur ke arah Simpang Dodik, semua ke arah Keutapang. Saya pikir betul-betul saat itu dunia dah kiamat, jelas ibu empat anak itu.

Memacu kendaraan ke arah Simpang Dodik tentu sama dengan menyongsong maut. Simpang Dodik adalah pintu masuk menuju Lamteumen, sebuah kawasan yang babak belur dihajar gelombang tsunami. Padahal, jaraknya sekitar 4-5 kilometer dari pantai Ulee Lheue atau Lamawe.

Setelah berhasil menghindari air bah, Teti yang hanya mengenakan baju tidur itu, tanpa pikir panjang, lalu menyetop bus PMTOH yang melaju ke arah Medan. Namun baru di Seulimum, Aceh Besar ia minta turun.

Yang terpikir di pikiran saya Bang Yan (suaminya), sudah meninggalkan saya serta dua anaknya yang masih duduk di kelas IV dan III SD, kata Teti.

Teti tak asal menduga. Jeulingke tak terlalu jauh dari garis pantai. Dan ketika jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB pada hari naas itu, Teti semakin lemas, ketika mendengar orang menyebut-nyebut daerah Jeulingke gelombangnya sangat tinggi dan dahsyat.

Bagaimana nasib Sofyan? Inilah yang dialaminya.

Setelah membawa dua orang putrinya dan pamit hendak pergi ke Jeulingke, Sofyan berubah pikiran. Di depan Masjid Raya Baiturrahman ia mengubah rute perjalanan, memilih Jalan Cut Meutia yang menurutnya lebih cepat sampai di tujuan. Sebab, bila melintasi Simpang Lima tentu memakan waktu lama akibat lampu merah.

Ternyata keengganannya berjumpa lampu merah itulah yang menyelamatkan jiwa Sofyan dan kedua putrinya. Tepat di depan BRI Cabang Banda Aceh, ia melihat air hitam pekat setinggi pohon kelapa. Begitu melihat pemandangan yang seumur hidup tak pernah dilihatnya itu, ia langsung menghentikan laju sepeda motor dinasnya itu.

Sofyan mencabut kunci kontaknya dan langsung membawa lari kedua putrinya ke arah Masjid Raya Baiturrahman. Sambil lari, pikiran saya mengatakan tempat yang lebih aman ke Masjid Raya, kisah Sofyan.

Namun kurang 50 meter lagi sampai di masjid, Mona, putrinya yang nomor dua mengeluh capek. Ayah, Mona capek dan Mona pakai sepatu baru ini, kata bocah itu sambil ngos-ngosan.

Tinggalkan saja sepatu itu dan kuatkan, sudah mau sampai ini, jawab Sofyan menguatkan putrinya.

Sofyan sendiri mengaku setengah putus asa mendengar teriakan putrinya. Walaupun saya juga sudah ngos-ngosan, sambil ngomong sudah mau sampai, tangan kedua anak saya harus saya tarik paksa.

Sesampainya di masjid, Sofyan melihat seorang bilal (tukang adzan, red), justru sedang menyapu lantai. Ia lalu segera meminta bilal mengumandangkan adzan karena air bah sudah besar dan sudah sampai di Jalan Cut Meutia.

Tapi bilal itu tidak melaksanakan adzan, melainkan ia turun ingin menyaksikan air yang saya ceritakan itu, jelas Sofyan.

Sofyan mengaku sebagai orang pertama yang masuk masjid, baru disusul seorang anak muda. Melihat sang bilal tak mengindahkan permintaan Sofyan, anak muda itu lalu menawarkan diri. Tapi sial, mikrofon masjid gagal difungsikan.

Sofyan sudah berada di dalam masjid. Tapi ayah yang memegang erat tangan kedua anaknya itu masih merasa tidak aman. Dia lalu mencari pintu untuk naik ke lantai selanjutnya. Saya baru merasa aman ketika saya sudah berada di tingkat tiga, ungkapnya.

Dari sanalah, Sofyan dan kedua putrinya menyaksikan kotanya digerus air bah. Saat itu, ratusan orang sudah berada di bagian atas masjid.

Saat air mulai surut, Sofyan bergegas hendak pulang untuk melihat istri dan dua anaknya di rumah. Namun, sesampainya di bawah, ia melihat banyak mayat sudah bergelimpangan di halaman masjid, bahkan ada yang tergolek di tangga masjid. Perasaan gundah semakin membucah. Apa yang terjadi di rumahnya? Apakah istri dan dua anaknya yang masih kecil selamat? Atau bernasib seperti jenasah-jenasah yang disaksikannya itu?

Lalu sambil melihat-lihat jalan mana yang bisa dilewati, karena di depan masjid penuh dengan puing-puing bangunan, Sofyan kemudian melintasi jalan bekas Hotel Aceh. Tapi sesampainya di depan Geunta Plaza, ada orang berteriak, Air naik lagi, air naik lagi
Begitu saya dengar ada orang mengatakan air naik lagi, saya langsung masuk komplek Geunta Plaza. Sampai di sana ada orang melarang, karena bangunan itu tidak kokoh lagi akibat gempa tadi. Tapi saya katakan kami bukan berlindung dari gempa, melaikan menghindari dari air,kata Sofyan seraya menambahkan bahwa teriakan air datang itu ternyata tidak benar.

Singkat cerita, sesampainya di rumahnya di Desa Garot, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, ia mendapati rumahnya telah kosong. Istrinya dan dua anak yang ditinggalkannya sudah tak ada. Namun air di rumahnya hanya setinggi tumit.

Pikirannya bertambah kacau. Ke mana harus mencari. Kemudian ia keluar tanpa tujuan pasti. Dan inilah yang dilakukannya: sambil berjalan, setiap ditemukan jenasah, ia melihat apakah itu istri dan anaknya.

Namun setelah sekian lama, ia pun memilih pulang ke rumah, dan di sana ia menulis pesan bahwa ia dan dua anaknya selamat dan sekarang berada di rumah teman di Mata Ie. Sofyan pun lalu menuliskan alamatnya secara jelas.

Ketika saya pulang melihat istri ndak ada lagi, pikiran saya kacau dan terpikir apakah saya harus tinggal bersama dua anak? kata Sofyan.

Pikiran yang sama, yang juga mendera Teti yang saat itu tengah galau di Seulimum.

***

Adzan maghrib sudah berkumandang. Beberapa orang baru saja mengerjakan shalat. Teti dengan menuntut kedua putrinya, tiba di Mata Ie. Dan keluarga itupun berkumpul kembali. [dan]

acehkita.com

*************************
Created at 10:11 AM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

December 2004[x] January 2005[x] August 2005[x]